Kemana saja alumni IPTN atau PT Dirgantara Indonesia (DI) setelah
pabrik pesawat terbang nasional itu 'diberangus' IMF? Lebih dari 100
orang tersebar di Inggris, Prancis, Jerman (Airbus), Brasil, Kanada, dan
Amerika Serikat (AS). Sekira 30 di antaranya berkarir di Boeing
Company, Seattle.
SEPERTI apa rasanya jadi orang Indonesia yang kerja di Boeing.
"Bangga sekaligus sedih," kata Agung H Soehedi dan Bramantya (Bram)
Djermani. "Saya bangga sekaligus prihatin," ujar Tonny Soeharto.
Itulah ungkapan perasaan ketiga orang Indonesia tulen itu yang kini
berkarir di Boeing Company, pabrik pesawat terbang terkemuka dan tertua
di dunia. Agung, Bram, dan Tonny merupakan 3 dari sekira 30 orang
Indonesia yang kini bekerja di Boeing. Mayoritas 'alumni' PT Industri
Pesawat Terbang Nusantara atau PT DI Bandung.
Agung misalnya. Pria kelahiran 8 Mei 1963 di Temanggung, Jateng itu
lebih dari 10 tahun berkarir di IPTN. Krisis ekonomi yang melanda
Indonesia tahun 1997-98 memaksa IPTN gulung tikar dan direkomendasi oleh
IMF untuk diberangus. "Sebelum itu saya sudah memutuskan ke Amerika,"
kata Agung.
Mula-mula dipersulit mendapatkan paspor. Setelah tak lagi jadi PNS,
paspor dan visa diperoleh. Mulailah alumni Itenas Jakarta (1990) itu adu
nasib di Boeing. "Alhamdulillah saya diterima," kata lulusan SMP Negeri
Purwekerto dan SMA Negeri 3 Bandung itu.
Tragedi 9/11 yang meruntuhkan gedung kembar WTC di New York membuat
orang-orang takut naik pesawat. Permintaan pesawat jatuh, dan Boeing
melakukan PHK besar-besaran. "Saya termasuk yang di-PHK," kata Agung.
Banyak pekerjaan yang dilakoni oleh ayah 4 anak ini untuk survive di
Amerika. Menjadi tukang cuci mobil, sopir shutle bus, pengatur dan
pembuat taman, memperbaiki rumah, hingga punya perusahaan perumahan
(office building). "Usaha saya dan partner maju. Tahun 2006 Boeing
kembali mempekerjakan saya. Partner saya tak mau melepas, tapi saya
bersikeras kembali ke Boeing," kisahnya.
Dua kali sang partner mengalami kecelakaan mobil pasca Agung menyatakan
kembali ke Boeing. "Akhirnya partner saya bilang silakan kerja di
Boeing lagi, tapi saya tetap menjalankan perusahaan bersama dia,"
katanya. "Alhamdulillah Boeing tak masalah."
Di industri pesawat yang didirikan William Boeing itu, Agung kini
menjadi salah satu lead di bagian neuro body (pembuatan) pesawat.
Jabatan resmi pria yang sudah punya green card USA itu Structural
Analysis Engineer. Lulusan SD Purwekerto ini pernah menangani bidang
stress analysis di pembuatan pesawat Boeing 737, dan Boeing 757. "Saya
mau dipindah ke pembuatan Boeing 777. Tapi saya menolak," katanya.
Sesuatu yang tak lazim lantaran tak biasanya orang menolak tugas di
Amerika. Apalagi kalau dipromosikan. "Saya bilang mau keluar kalau
dipaksa pindah," kisahnya. "Bos saya bilang, sama sekali tak terpikirkan
Anda keluar dari Boeing."
Itu menunjukkan kapasitas dan kualitas Agung tak diragukan. Sama
seperti Tonny Soeharto yang berayah Bali dan beribu Purworejo (Jateng)
itu. Jabatan resmi lulusan ITB tahun 1982 itu Lead Engineer -MB
Production Support Engineering Boeing 777. Di pembuatan besar berbadan
lebar untuk lintas benua yang paling laris itu, Tonny dipercaya menjadi
pimpinan di salah satu bagian yang vital.
Tonny alumni tulen IPTN. Masuk tahun 1982 di pabrik pesawat kreasi BJ
Habibie itu, Tonny meminta pensiun dini dari IPTN pada 1998. Semasa di
IPTN, ayah dua anak ini pernah ditugaskan belajar di Boeing. Karena itu,
tak sulit Tonny diterima di Boeing tahun 1999. "Saya orang IPTN pertama
yang kerja di Boeing," katanya.
"Tak terbayangkan kita orang Indonesia membawahi orang-orang Amerika di
Boeing. Alhamdulillah itu bisa kami capai di sini," kata Tonny dengan
mata berkaca-kaca. "Mereka respek dan menghargai kemampuan kita orang
Indonesia. Saya juga dengan bangga bilang sebagai 'alumni' IPTN," kisah
pria yang mempersunting gadis asal Bangkalan Madura ini.
Anak tertua Tonny tamatan Universitas of Washington (UW), Seattle,
mengikuti jejak ayahnya sebagai engineer dan sudah mempersunting gadis
asal Vietnam. Anak kedua, memilih jurusan Arsitek di UW. "Alhamdulillah
kami juga terus berusaha membantu siapa saja anak Indonesia yang kuliah
di sini (Seattle dan sekitarnya).
Bramantya 'Bram' Djermani tak kalah membanggakan. Pria yang akrab
disapa Bram itu meninggalkan Jakarta tahun 1990, dan lulus dari
University of Foledo, Ohio. Setelah tamat diterima di Boeing.
Bram kini satu-satunya orang Indonesia di pembuatan pesawat Boeing 787
Dreamliner. Pesawat tercanggih produksi Boeing yang menggunakan bahan
dasar komposit. Paling ringan di antara semua jenis pesawat komersil
yang pernah ada, dan paling hemat bahan bakar. Saat ini sudah 800
pesanan, tapi belum satu pun masuk pasar dan beroperasi secara komersil.
"Masih sedang dalam tahap persiapan," kata Bram.
Di pembuatan pesawat berjuluk Boeing Next Generation itu Bram memegang
job Industrial Engineer. "Saya berusaha menjalankan tugas dengan
sebaik-baiknya. Untuk karir saya, dan mudah-mudahan menyumbang bagi nama
baik Indonesia," katanya.
Masih banyak orang Indonesia berkarir cemerlang di Boeing. Kholid
Hanafi di pembuatan Boeing 737, Maurita Sutedja di bagian keuangan, dan
Sulaeman Kamil. Yang terakhir ini mantan Direktur Teknologi IPTN dan
pernah jadi Asisten Menristek-Kepala BPPT.
"Kami semua bangga," kata Agung, Bram dan Tonny. "Kami membuktikan
orang Indonesia tidak kalah dengan warga Amerika atau bangsa-bangsa lain
di dunia."
Mereka mengakui, IPTN sangat berjasa bagi pembentukan kualitas dan
kapabilitas. IPTN telah menempa mereka memiliki kualitas dunia untuk
bidang teknologi pembuatan pesawat. "Menyebut IPTN tidak meragukan.
Memudahkan untuk diterima," kata Agung dan Tonny.
Para alumni IPTN ini rata-rata sudah hidup mapan di Amerika. Agung,
misalnya, punya dua rumah yang megah. "Rumah saya seperti jadi tempat
berkumpul mahasiswa asal Indonesia dan tempat penitipan barang-barang
mereka," katanya saat menjamu saya di rumahnya 20446 96 Way, Kent, Washington.
Rata-rata mereka mendapatkan gaji pokok US$200.000 per bulan, sekira
Rp1,86 miliar. Itu masih di luar tunjangan dan penghasilan tambahan
lain-lain.
Walau begitu mereka tetap punya kerinduan mengabdi di tanah air. "Sedih
karena semua kemampuan iptek yang kami miliki tak bisa dikembangkan
atau dipakai di tanah air," kata Tonny. "Potensi dan kemampuan anak-anak
Indonesia tak kalah. Sayang ndak bisa diaplikasikan di tanah air. Tidak
ada ruang dan wadah yang cocok bagi penerapan dan pengembangan
teknologi dirgantara di Indonesia," kata Bram.
"Saya ikut dalam proses pembuatan CN315, N250 dan N2130," kata Agung.
Kalau kita konsisten mengembangkannya, ATR (anak perusahaan Airbus di
Touluse, Perancis) sulit masuk pasar. "Saya prihatin dan sedih," ujar
Agung.
Suaranya melemah. Matanya sayu. "Kita harusnya kini raja di pasar seperti dikuasai ATR sekarang."
Apalagi, BJ Habibie menggunakan teknologi pesawat masa depan yang saat itu belum dimiliki pabrik pesawat lain: fly-by-wire.
Boeing sendiri menggunakan teknologi ini di pembuatan B777 pada 1994.
Teknologi ini pula yang kini digunakan oleh Boeing dan Airbus dalam
merancang pesawat-pesawat masa depan.
Sesuatu yang sudah lebih dulu diterapkan IPTN pada N2130. "Sedih dan
prihatin. Itu tinggal kenangan," kata Agung, Tonny, dan Bram.
 |
| Selepas lulus dari Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung Jurusan
Teknik Sipil tahun 1990, Agung H. Soehedi langsung bekerja di PT
Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pada tahun 2001, selain
disebabkan adanya gonjang-ganjing yang melanda internal perusahaan,
Agung keluar karena ada kesempatan untuk mengembangkan karier di Boeing
Company, pabrik pesawat tertua di dunia yang berbasis di Seattle, AS. |
Jakarta, BNP2TKI, Selasa (18/10) - Selepas lulus dari Institut
Teknologi Nasional (Itenas) Bandung Jurusan Teknik Sipil tahun 1990,
Agung H. Soehedi langsung bekerja di PT Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN). Pada tahun 2001, selain disebabkan adanya
gonjang-ganjing yang melanda internal perusahaan, Agung keluar karena
ada kesempatan untuk mengembangkan karier di Boeing Company, pabrik
pesawat tertua di dunia yang berbasis di Seattle, AS.
Belum genap setahun bekerja, pria kelahiran Jawa Tengah, 8 Mei 1963
itu terkena lay-off (pemberhentian sementara) bersama ribuan karyawan
Boeing lainnya. Akibat perekonomian AS yang terguncang menyusul
terjadinya serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) di
New York pada 11 September 2001.
Selain karena sudah membawa istri dan anaknya untuk tinggal
bersamanya, beban mental yang ditanggung juga terlalu berat jika
pilihannya adalah pulang ke Indonesia. Dengan bermodalkan sertifikat
tenaga kerja di AS yang masih berlaku dua tahun lagi, pria yang
beristrikan Yeni Sri Mulyani itu memilih tetap bertahan di negeri Paman
Sam dengan melakoni berbagai jenis pekerjaan meskipun uang yang
diperolehnya jauh lebih kecil dibanding saat kerja di Boeing. Mulai dari
tukang cuci mobil, pengatur dan pembuat taman, tukang memperbaiki
rumah, supir shuttle bus di Seattle hingga yang terakhir bekerja di
Yoseph Chan Corp., sebuah perusahaan properti, real estate, dan
perkantoran.
Setelah nyaman bekerja di perusahaan keluarga asal Taiwan, Agung
ditawari Boeing untuk kembali mengurusi pesawat dengan jabatan
Structural Analysis Engineer. Tentu saja dia begitu antusias menerima
tawaran itu, karena bekerja di perusahaan yang didirikan oleh William
Edward Boeing pada pada 15 Juli 1916 ini, merupakan alasan utama kenapa
dia pergi ke AS. Pemilik perusahaan, Yoseph Chan, keberatan untuk
melepasnya. Menurutnya banyak orang yang pandai, tapi orang yang bisa
dipercaya, amatlah sulit dicari.
Jalan tengah akhirnya dipilih. Dengan prinsip win-win solution,
Agung - sebagaimana diolah dari berbagai sumber - bekerja double. Dengan
di Boeing sebagai yang utama, Agung tetap melanjutkan mengawasi
berjalannya operasional apartemen yang memang menjadi tanggung jawabnya.
Sistem pengawasan bisa dilakukan via telepon dan dikerjakan Sabtu dan
Minggu. Double job ini pun diketahui pihak Boeing, dan itu tidak jadi
masalah, selama bisa mengatur waktu.
Bersama 30 orang WNI lainnya yang bekerja di Boeing, alumnus SMAN 3
Bandung yang pernah menangani bidang stress analysis di pembuatan
pesawat Boeing 737 dan Boeing 757 ini memperoleh gaji hingga USD200.000
per tahun atau setara Rp1,7 miliar dengan kurs sekitar Rp8.900 per dolar
AS. Itu belum termasuk tunjangan dan penghasilan tambahan lain-lain.
Dari 30 orang tersebut, tidak semuanya bekerja di bagian teknis,
ada juga yang di bagian keuangan. Jabatan yang ditempatinya pun tak
sedikit pula yang menduduki posisi bergengsi atau berpengaruh. Bahkan,
TKI yang rata-rata pernah bekerja di IPTN, yang kemudian berubah menjadi
PT Dirgantara Indonesia tahun 2000 itu, tidak membayangkan orang
Indonesia bisa membawahi orang-orang AS di Boeing. Hal itu membuktikan
kualitas orang Indonesia tidak kalah dengan orang AS atau bangsa-bangsa
lainnya di dunia. (sumber)
SENTUHAN 'INDONESIAN ENGINEER' DALAM BOEING 787 DREAMLINER
Boeing 787 Dreamliner yang
super keren itu ternyata lahir dengan sentuhan beberapa engineer asal Indonesia
yang terlibat sebagai tim yang ikut mendesain dan membuat burung besi mutakhir
keluaran Boeing Company yang berkantor pusat di Chicago Illinois, Amerika
Serikat itu. Menurut Bram Djermani, engineer asal Indonesia yang tergabung
dalam tim produksi, di Boieng saat ini ada setidaknya 32 orang Indonesia yang
bekerja, termasuk 4 orang Indonesia di antaranya yang terlibat langsung dalam
pembuatan pesawat Boeing 787 Dreamliner ini. Bram sendiri terlibat dalam tim
produksi pesawat baru ini, sedangkan 3 engineer Indonesia lainnya tergabung
dalam tim Planning Engineer, Liaison Engineer dan Stress Engineer. Mereka
bersama dengan sekitar 500 orang karyawan Boeing lainnya terlibat dalam desain
dan produksi hingga pengiriman pesawat terbaru tersebut.
Pesawat Boeing ini didesain dan dibuat dengan beberapa keunggulan
kualitas dibanding dengan pesawat-pesawat Boeing terdahulu. Keunggulan pertama adalah
dari segi kualitas materialnya, dimana pesawat Dreamliner 787 ini terbuat dari
bahan komposit (kombinasi beberapa jenis material) pada hampr 50% dari bahan
dasar pesawat tersebut, sehingga lebih ringan dari pesawat biasa. Pesawat ini
juga diklaim hemat bahan bakar sampai 20%, selain karena ringan, juga karena
menggunakan mesin terbaru buatan General Electric dan Rolls Royce, yang juga
mampu mengurangi emisi sampai 20%. Jendela Dreamliner 787 ini terdapat lapisan
gel yang dapat bereaksi secara kimiawi untuk membuat jendela tampak bening atau
gelap sesuai kebutuhan, dan dapat dikendalikan secara elektronik untuk
menyesuaikan cahaya yang masuk, sehingga penumpang tidak perlu lagi menutup
jendela akibat silau oleh cahaya matahari pada waktu siang hari. Para penumpang
juga dimanjakan dengan televisi layar sentuh yang berbasis Android, yang
membuat penumpang dapat terhibur dan tidak bosan dalam penerbangan yang
panjang. Langit-langit pesawat pun mengalami perubahan desain, dimana warna
langit bisa berubah sesuai keadaan langit di luar pesawat. Sebagai contoh, pada
waktu matahari baru terbit, warna langit-langit pesawat akan berubah warna dari
oranye menjadi biru.
Bram mengatakan, "Di
Boeing ada banyak orang yang berasal dari berbagai negara. Kami bangga bisa terlibat
di sini, mampu bersaing dengan orang-orang dari luar lainnya. Tapi kami tidak
kehilangan nasionalisme," Bram yang bergabung sejak 4 tahun lalu ini
berharap agar industri pesawat di tanah air dapat segera bangkit dan mampu
bersaing dengan negara-negara lainnya.
Salut untuk Bram dan
kawan-kawan! Kiranya jerih-payah Anda dan rekan-rekan yang berjuang membela
nama bangsa di luar negeri menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi
rekan-rekan sebangsa lainnya untuk berkiprah dan berperan menjadikan bangsa
kita bangsa yang bermartabat dan menjadi berkat bagi dunia. (sumber).
Sekelumit Kiasah Diaspora Anak Negeri

Senin, 17 Oktober 2011, saya ditugaskan
kantor ke Lombok untuk sebuah acara. Dari Jakarta saya menggunakan
pesawat Lion Air. Dalam jadwal pesawat harusnya take of, pukul 14.15.
Tapi mengalami delay sampai 45 menitan. Tiba di Lombok, sudah magrib
waktu setempat.
Waktu dalam pesawat yang membawa saya ke Lombok, iseng-iseng untuk
membuang jenuh, saya mengambil majalan Lionmag, yang terselip dibelakang
kursi di depan saya.
Isinya tulisan-tulisan dan catatan perjalanan wisata. Menarik memang,
karena Indonesia begitu indahnya. Namun yang paling menarik dari isi
Majalah Lionmag Edisi Oktober 2011 itu tulisan tentang penyerahan
pesawat Boeing 737-900ER, yang dibeli maskapai Lion Air dari raksasa
industri pesawat terbang Boeing.
Dalam tulisan itu diceritakan, penyerahan pesawat dilakukan langsung di
pabrik Boeing, yang terletak di Seatle, Amerika Serikat. Pemilik Lion,
Rusdi Kirana, yang datang langsung untuk menerima pesawat yang dibelinya
dari Boeing.
Diceritakan pula, saat acara serah terima pesawat, Rusdi dipertemukan
dengan para insinyur yang membuat pesawat yang akan memperkuat armada
maskapainya di tanah air.
Ternyata, ada 30 Insiyur asal Indonesia yang bekerja di Boeing. Dan ikut
menyumbang keahliannya dalam pembuatan pesawat Boeing 737-900ER yang
dibeli Lion Air, dan akan dipakai mengarungi dirgantara nusantara.
Ke-30 insinyur itu adalah eks teknisi di IPTN, yang sekarang bernama PT
Dirgantara Indonesia atau PT DI. Artinya ilmu anak-anak negeri sendiri
yang dipakai untuk membuat alat transportasi yang akan dipakai ditanah
air. Ironis memang.
Tonny H Soeharto, seorang insinyur yang sudah di level Lead Engineer,
mengungkapkan di majalan tersebut, bahwa ketiga puluh teknisi eks IPTN
itu sudah berstatus sebagai Senior Engineer.
Setelah membaca artikel itu, saya tertegun dan termenung. Di negeri
sendiri, ilmu mereka tak ada yang menghargai. Bahkan negara seakan tak
peduli, faktanya PT DI, rumah tempat mereka mengamalkan ilmu kini
seperti di anak tirikan. Perusahaan itu kini seperti hidup segan, mati
tak mau.
Dengan kondisi seperti itu, tak ada pilihan, akhirnya mereka memilih
berdiaspora ke luar negeri. Ketimbang di negeri sendiri keahlian tak
dihargai. Sementara tuntutan periuk nasi terus mendesak. Dan perusahaan
sekelas Boeing justru yang lebih menghargai ilmu mereka.
Mungkin tak hanya mereka yang berdiaspora mengabdikan ilmunya dinegeri
orang. Sangat mungkin cerita di Boeing juga ada di negara lainnya.
Dimana dengan terpaksa para orang pintar dan cerdas ibu pertiwi yang
berkarya di negara orang. Ilmu dan keahlian mereka pun dinikmati orang
lain.
Saya tak menyalahkan mereka. Karena di negeri sendiri, yang lebih
dibutuhkan negara, adalah politisi, bukan teknisi. Pada akhirnya, barang
atau alat yang sebenarnya andil dari buah tangan anak negeri, di jual
kembali ke tanah air. Bangsa kita pun terpaksa menjadi bangsa pembeli.
Karena yang memproduksi terpaksa lari. (sumber)
