Kamis, 27 Oktober 2011

Tersingkir dari Negeri Sendiri, Para Insinyur Indonesia Sukses di Boeing Amerika

Kemana saja alumni IPTN atau PT Dirgantara Indonesia (DI) setelah pabrik pesawat terbang nasional itu 'diberangus' IMF? Lebih dari 100 orang tersebar di Inggris, Prancis, Jerman (Airbus), Brasil, Kanada, dan Amerika Serikat (AS). Sekira 30 di antaranya berkarir di Boeing Company, Seattle.

SEPERTI apa rasanya jadi orang Indonesia yang kerja di Boeing. "Bangga sekaligus sedih," kata Agung H Soehedi dan Bramantya (Bram) Djermani. "Saya bangga sekaligus prihatin," ujar Tonny Soeharto.
Itulah ungkapan perasaan ketiga orang Indonesia tulen itu yang kini berkarir di Boeing Company, pabrik pesawat terbang terkemuka dan tertua di dunia. Agung, Bram, dan Tonny merupakan 3 dari sekira 30 orang Indonesia yang kini bekerja di Boeing. Mayoritas 'alumni' PT Industri Pesawat Terbang Nusantara atau PT DI Bandung.
Agung misalnya. Pria kelahiran 8 Mei 1963 di Temanggung, Jateng itu lebih dari 10 tahun berkarir di IPTN. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997-98 memaksa IPTN gulung tikar dan direkomendasi oleh IMF untuk diberangus. "Sebelum itu saya sudah memutuskan ke Amerika," kata Agung.
Mula-mula dipersulit mendapatkan paspor. Setelah tak lagi jadi PNS, paspor dan visa diperoleh. Mulailah alumni Itenas Jakarta (1990) itu adu nasib di Boeing. "Alhamdulillah saya diterima," kata lulusan SMP Negeri Purwekerto dan SMA Negeri 3 Bandung itu.
Tragedi 9/11 yang meruntuhkan gedung kembar WTC di New York membuat orang-orang takut naik pesawat. Permintaan pesawat jatuh, dan Boeing melakukan PHK besar-besaran. "Saya termasuk yang di-PHK," kata Agung.
Banyak pekerjaan yang dilakoni oleh ayah 4 anak ini untuk survive di Amerika. Menjadi tukang cuci mobil, sopir shutle bus, pengatur dan pembuat taman, memperbaiki rumah, hingga punya perusahaan perumahan (office building). "Usaha saya dan partner maju. Tahun 2006 Boeing kembali mempekerjakan saya. Partner saya tak mau melepas, tapi saya bersikeras kembali ke Boeing," kisahnya.
Dua kali sang partner mengalami kecelakaan mobil pasca Agung menyatakan kembali ke Boeing. "Akhirnya partner saya bilang silakan kerja di Boeing lagi, tapi saya tetap menjalankan perusahaan bersama dia," katanya. "Alhamdulillah Boeing tak masalah."
Di industri pesawat yang didirikan William Boeing itu, Agung kini menjadi salah satu lead di bagian neuro body (pembuatan) pesawat. Jabatan resmi pria yang sudah punya green card USA itu Structural Analysis Engineer. Lulusan SD Purwekerto ini pernah menangani bidang stress analysis di pembuatan pesawat Boeing 737, dan Boeing 757. "Saya mau dipindah ke pembuatan Boeing 777. Tapi saya menolak," katanya.
Sesuatu yang tak lazim lantaran tak biasanya orang menolak tugas di Amerika. Apalagi kalau dipromosikan. "Saya bilang mau keluar kalau dipaksa pindah," kisahnya. "Bos saya bilang, sama sekali tak terpikirkan Anda keluar dari Boeing."
Itu menunjukkan kapasitas dan kualitas Agung tak diragukan. Sama seperti Tonny Soeharto yang berayah Bali dan beribu Purworejo (Jateng) itu. Jabatan resmi lulusan ITB tahun 1982 itu Lead Engineer -MB Production Support Engineering Boeing 777. Di pembuatan besar berbadan lebar untuk lintas benua yang paling laris itu, Tonny dipercaya menjadi pimpinan di salah satu bagian yang vital.
Tonny alumni tulen IPTN. Masuk tahun 1982 di pabrik pesawat kreasi BJ Habibie itu, Tonny meminta pensiun dini dari IPTN pada 1998. Semasa di IPTN, ayah dua anak ini pernah ditugaskan belajar di Boeing. Karena itu, tak sulit Tonny diterima di Boeing tahun 1999. "Saya orang IPTN pertama yang kerja di Boeing," katanya.
"Tak terbayangkan kita orang Indonesia membawahi orang-orang Amerika di Boeing. Alhamdulillah itu bisa kami capai di sini," kata Tonny dengan mata berkaca-kaca. "Mereka respek dan menghargai kemampuan kita orang Indonesia. Saya juga dengan bangga bilang sebagai 'alumni' IPTN," kisah pria yang mempersunting gadis asal Bangkalan Madura ini.
Anak tertua Tonny tamatan Universitas of Washington (UW), Seattle, mengikuti jejak ayahnya sebagai engineer dan sudah mempersunting gadis asal Vietnam. Anak kedua, memilih jurusan Arsitek di UW. "Alhamdulillah kami juga terus berusaha membantu siapa saja anak Indonesia yang kuliah di sini (Seattle dan sekitarnya).
Bramantya 'Bram' Djermani tak kalah membanggakan. Pria yang akrab disapa Bram itu meninggalkan Jakarta tahun 1990, dan lulus dari University of Foledo, Ohio. Setelah tamat diterima di Boeing.
Bram kini satu-satunya orang Indonesia di pembuatan pesawat Boeing 787 Dreamliner. Pesawat tercanggih produksi Boeing yang menggunakan bahan dasar komposit. Paling ringan di antara semua jenis pesawat komersil yang pernah ada, dan paling hemat bahan bakar. Saat ini sudah 800 pesanan, tapi belum satu pun masuk pasar dan beroperasi secara komersil. "Masih sedang dalam tahap persiapan," kata Bram.
Di pembuatan pesawat berjuluk Boeing Next Generation itu Bram memegang job Industrial Engineer. "Saya berusaha menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Untuk karir saya, dan mudah-mudahan menyumbang bagi nama baik Indonesia," katanya.
Masih banyak orang Indonesia berkarir cemerlang di Boeing. Kholid Hanafi di pembuatan Boeing 737, Maurita Sutedja di bagian keuangan, dan Sulaeman Kamil. Yang terakhir ini mantan Direktur Teknologi IPTN dan pernah jadi Asisten Menristek-Kepala BPPT.
 "Kami semua bangga," kata Agung, Bram dan Tonny. "Kami membuktikan orang Indonesia tidak kalah dengan warga Amerika atau bangsa-bangsa lain di dunia."
Mereka mengakui, IPTN sangat berjasa bagi pembentukan kualitas dan kapabilitas. IPTN telah menempa mereka memiliki kualitas dunia untuk bidang teknologi pembuatan pesawat. "Menyebut IPTN tidak meragukan. Memudahkan untuk diterima," kata Agung dan Tonny.
Para alumni IPTN ini rata-rata sudah hidup mapan di Amerika. Agung, misalnya, punya dua rumah yang megah. "Rumah saya seperti jadi tempat berkumpul mahasiswa asal Indonesia dan tempat penitipan barang-barang mereka," katanya saat menjamu saya di rumahnya 20446 96 Way, Kent, Washington.
Rata-rata mereka mendapatkan gaji pokok US$200.000 per bulan, sekira Rp1,86 miliar. Itu masih di luar tunjangan dan penghasilan tambahan lain-lain.
Walau begitu mereka tetap punya kerinduan mengabdi di tanah air. "Sedih karena semua kemampuan iptek yang kami miliki tak bisa dikembangkan atau dipakai di tanah air," kata Tonny. "Potensi dan kemampuan anak-anak Indonesia tak kalah. Sayang ndak bisa diaplikasikan di tanah air. Tidak ada ruang dan wadah yang cocok bagi penerapan dan pengembangan teknologi dirgantara di Indonesia," kata Bram.
"Saya ikut dalam proses pembuatan CN315, N250 dan N2130," kata Agung. Kalau kita konsisten mengembangkannya, ATR (anak perusahaan Airbus di Touluse, Perancis) sulit masuk pasar. "Saya prihatin dan sedih," ujar Agung.
Suaranya melemah. Matanya sayu. "Kita harusnya kini raja di pasar seperti dikuasai ATR sekarang."
Apalagi, BJ Habibie menggunakan teknologi pesawat masa depan yang saat itu belum dimiliki pabrik pesawat lain: fly-by-wire. Boeing sendiri menggunakan teknologi ini di pembuatan B777 pada 1994. Teknologi ini pula yang kini digunakan oleh Boeing dan Airbus dalam merancang pesawat-pesawat masa depan.

Sesuatu yang sudah lebih dulu diterapkan IPTN pada N2130. "Sedih dan prihatin. Itu tinggal kenangan," kata Agung, Tonny, dan Bram.
Selepas lulus dari Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung Jurusan Teknik Sipil tahun 1990, Agung H. Soehedi langsung bekerja di PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pada tahun 2001, selain disebabkan adanya gonjang-ganjing yang melanda internal perusahaan, Agung keluar karena ada kesempatan untuk mengembangkan karier di Boeing Company, pabrik pesawat tertua di dunia yang berbasis di Seattle, AS.
Jakarta, BNP2TKI, Selasa (18/10) - Selepas lulus dari Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung Jurusan Teknik Sipil tahun 1990, Agung H. Soehedi langsung bekerja di PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Pada tahun 2001, selain disebabkan adanya gonjang-ganjing yang melanda internal perusahaan, Agung keluar karena ada kesempatan untuk mengembangkan karier di Boeing Company, pabrik pesawat tertua di dunia yang berbasis di Seattle, AS.

Belum genap setahun bekerja, pria kelahiran Jawa Tengah, 8 Mei 1963 itu terkena lay-off (pemberhentian sementara) bersama ribuan karyawan Boeing lainnya. Akibat perekonomian AS yang terguncang menyusul terjadinya serangan terhadap menara kembar World Trade Center (WTC) di New York pada 11 September 2001.

Selain karena sudah membawa istri dan anaknya untuk tinggal bersamanya, beban mental yang ditanggung juga terlalu berat jika pilihannya adalah pulang ke Indonesia. Dengan bermodalkan sertifikat tenaga kerja di AS yang masih berlaku dua tahun lagi, pria yang beristrikan Yeni Sri Mulyani itu memilih tetap bertahan di negeri Paman Sam dengan melakoni berbagai jenis pekerjaan meskipun uang yang diperolehnya jauh lebih kecil dibanding saat kerja di Boeing. Mulai dari tukang cuci mobil, pengatur dan pembuat taman, tukang memperbaiki rumah, supir shuttle bus di Seattle hingga yang terakhir bekerja di Yoseph Chan Corp., sebuah perusahaan properti, real estate, dan perkantoran.

Setelah nyaman bekerja di perusahaan keluarga asal Taiwan, Agung ditawari Boeing untuk kembali mengurusi pesawat dengan jabatan Structural Analysis Engineer. Tentu saja dia begitu antusias menerima tawaran itu, karena bekerja di perusahaan yang didirikan oleh William Edward Boeing pada pada 15 Juli 1916 ini, merupakan alasan utama kenapa dia pergi ke AS. Pemilik perusahaan, Yoseph Chan, keberatan untuk melepasnya. Menurutnya banyak orang yang pandai, tapi orang yang bisa dipercaya, amatlah sulit dicari.

Jalan tengah akhirnya dipilih. Dengan prinsip ­win-win solution, Agung - sebagaimana diolah dari berbagai sumber - bekerja double. Dengan di Boeing sebagai yang utama, Agung tetap melanjutkan mengawasi berjalannya operasional apartemen yang memang menjadi tanggung jawabnya. Sistem pengawasan bisa dilakukan via telepon dan dikerjakan Sabtu dan Minggu. Double job ini pun diketahui pihak Boeing, dan itu tidak jadi masalah, selama bisa mengatur waktu.

Bersama 30 orang WNI lainnya yang bekerja di Boeing, alumnus SMAN 3 Bandung yang pernah menangani bidang stress analysis di pembuatan pesawat Boeing 737 dan Boeing 757 ini memperoleh gaji hingga USD200.000 per tahun atau setara Rp1,7 miliar dengan kurs sekitar Rp8.900 per dolar AS. Itu belum termasuk tunjangan dan penghasilan tambahan lain-lain.
Dari 30 orang tersebut, tidak semuanya bekerja di bagian teknis, ada juga yang di bagian keuangan. Jabatan yang ditempatinya pun tak sedikit pula yang menduduki posisi bergengsi atau berpengaruh. Bahkan, TKI yang rata-rata pernah bekerja di IPTN, yang kemudian berubah menjadi PT Dirgantara Indonesia tahun 2000 itu, tidak membayangkan orang Indonesia bisa membawahi orang-orang AS di Boeing. Hal itu membuktikan kualitas orang Indonesia tidak kalah dengan orang AS atau bangsa-bangsa lainnya di dunia. (sumber)

BOEING
 
SENTUHAN 'INDONESIAN ENGINEER' DALAM BOEING 787 DREAMLINER
Boeing 787 Dreamliner yang super keren itu ternyata lahir dengan sentuhan beberapa engineer asal Indonesia yang terlibat sebagai tim yang ikut mendesain dan membuat burung besi mutakhir keluaran Boeing Company yang berkantor pusat di Chicago Illinois, Amerika Serikat itu. Menurut Bram Djermani, engineer asal Indonesia yang tergabung dalam tim produksi, di Boieng saat ini ada setidaknya 32 orang Indonesia yang bekerja, termasuk 4 orang Indonesia di antaranya yang terlibat langsung dalam pembuatan pesawat Boeing 787 Dreamliner ini. Bram sendiri terlibat dalam tim produksi pesawat baru ini, sedangkan 3 engineer Indonesia lainnya tergabung dalam tim Planning Engineer, Liaison Engineer dan Stress Engineer. Mereka bersama dengan sekitar 500 orang karyawan Boeing lainnya terlibat dalam desain dan produksi hingga pengiriman pesawat terbaru tersebut.  
Pesawat Boeing ini didesain dan dibuat dengan beberapa keunggulan kualitas dibanding dengan pesawat-pesawat Boeing terdahulu. Keunggulan pertama adalah dari segi kualitas materialnya, dimana pesawat Dreamliner 787 ini terbuat dari bahan komposit (kombinasi beberapa jenis material) pada hampr 50% dari bahan dasar pesawat tersebut, sehingga lebih ringan dari pesawat biasa. Pesawat ini juga diklaim hemat bahan bakar sampai 20%, selain karena ringan, juga karena menggunakan mesin terbaru buatan General Electric dan Rolls Royce, yang juga mampu mengurangi emisi sampai 20%. Jendela Dreamliner 787 ini terdapat lapisan gel yang dapat bereaksi secara kimiawi untuk membuat jendela tampak bening atau gelap sesuai kebutuhan, dan dapat dikendalikan secara elektronik untuk menyesuaikan cahaya yang masuk, sehingga penumpang tidak perlu lagi menutup jendela akibat silau oleh cahaya matahari pada waktu siang hari. Para penumpang juga dimanjakan dengan televisi layar sentuh yang berbasis Android, yang membuat penumpang dapat terhibur dan tidak bosan dalam penerbangan yang panjang. Langit-langit pesawat pun mengalami perubahan desain, dimana warna langit bisa berubah sesuai keadaan langit di luar pesawat. Sebagai contoh, pada waktu matahari baru terbit, warna langit-langit pesawat akan berubah warna dari oranye menjadi biru.
Bram mengatakan, "Di Boeing ada banyak orang yang berasal dari berbagai negara. Kami bangga bisa terlibat di sini, mampu bersaing dengan orang-orang dari luar lainnya. Tapi kami tidak kehilangan nasionalisme," Bram yang bergabung sejak 4 tahun lalu ini berharap agar industri pesawat di tanah air dapat segera bangkit dan mampu bersaing dengan negara-negara lainnya.
Salut untuk Bram dan kawan-kawan! Kiranya jerih-payah Anda dan rekan-rekan yang berjuang membela nama bangsa di luar negeri menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi rekan-rekan sebangsa lainnya untuk berkiprah dan berperan menjadikan bangsa kita bangsa yang bermartabat dan menjadi berkat bagi dunia. (sumber).


Sekelumit Kiasah Diaspora Anak Negeri
Senin, 17 Oktober 2011, saya ditugaskan kantor ke Lombok untuk sebuah acara. Dari Jakarta saya menggunakan pesawat Lion Air. Dalam jadwal pesawat harusnya take of, pukul 14.15. Tapi mengalami delay sampai 45 menitan. Tiba di Lombok, sudah magrib waktu setempat. Waktu dalam pesawat yang membawa saya ke Lombok, iseng-iseng untuk membuang jenuh, saya mengambil majalan Lionmag, yang terselip dibelakang kursi di depan saya.
Isinya tulisan-tulisan dan catatan perjalanan wisata. Menarik memang, karena Indonesia begitu indahnya. Namun yang paling menarik dari isi Majalah Lionmag Edisi Oktober 2011 itu tulisan tentang penyerahan pesawat Boeing 737-900ER, yang dibeli maskapai Lion Air dari raksasa industri pesawat terbang Boeing.
Dalam tulisan itu diceritakan, penyerahan pesawat dilakukan langsung di pabrik Boeing, yang terletak di Seatle, Amerika Serikat. Pemilik Lion, Rusdi Kirana, yang datang langsung untuk menerima pesawat yang dibelinya dari Boeing.
Diceritakan pula, saat acara serah terima pesawat, Rusdi dipertemukan dengan para insinyur yang membuat pesawat yang akan memperkuat armada maskapainya di tanah air.
Ternyata, ada 30 Insiyur asal Indonesia yang bekerja di Boeing. Dan ikut menyumbang keahliannya dalam pembuatan pesawat Boeing 737-900ER yang dibeli Lion Air, dan akan dipakai mengarungi dirgantara nusantara.
Ke-30 insinyur itu adalah eks teknisi di IPTN, yang sekarang bernama PT Dirgantara Indonesia atau PT DI. Artinya ilmu anak-anak negeri sendiri yang dipakai untuk membuat alat transportasi yang akan dipakai ditanah air. Ironis memang.
Tonny H Soeharto, seorang insinyur yang sudah di level Lead Engineer, mengungkapkan di majalan tersebut, bahwa ketiga puluh teknisi eks IPTN itu sudah berstatus sebagai Senior Engineer.
Setelah membaca artikel itu, saya tertegun dan termenung. Di negeri sendiri, ilmu mereka tak ada yang menghargai. Bahkan negara seakan tak peduli, faktanya PT DI, rumah tempat mereka mengamalkan ilmu kini seperti di anak tirikan. Perusahaan itu kini seperti hidup segan, mati tak mau.
Dengan kondisi seperti itu, tak ada pilihan, akhirnya mereka memilih berdiaspora ke luar negeri. Ketimbang di negeri sendiri keahlian tak dihargai. Sementara tuntutan periuk nasi terus mendesak. Dan perusahaan sekelas Boeing justru yang lebih menghargai ilmu mereka.

Mungkin tak hanya mereka yang berdiaspora mengabdikan ilmunya dinegeri orang. Sangat mungkin cerita di Boeing juga ada di negara lainnya. Dimana dengan terpaksa para orang pintar dan cerdas ibu pertiwi yang berkarya di negara orang. Ilmu dan keahlian mereka pun dinikmati orang lain.
Saya tak menyalahkan mereka. Karena di negeri sendiri, yang lebih dibutuhkan negara, adalah politisi, bukan teknisi. Pada akhirnya, barang atau alat yang sebenarnya andil dari buah tangan anak negeri, di jual kembali ke tanah air. Bangsa kita pun terpaksa menjadi bangsa pembeli. Karena yang memproduksi terpaksa lari. (sumber)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...